Minggu, 05 Agustus 2007


BROMO SEMERU GALLERY

puncak Bromo (kawah)

tangga naik ke puncak kawah Bromo

desa Ranupani (desa terakhir dikaki gunung Semeru).

gunung Bromo dilihat dari puncak Penanjakan.

danau Ranu Kumbolo berselimut kabut.

di penanjakan. jam 1/2 6 pagi...dingin bgt bro...!!


lautan pasir tertutup kabut dingin...




pura orang Tengger Hindu.

puncak Mahameru Semeru.


tanjakan Cinta Semeru.

Lautan pasir tertutup ilalang..
Mahameru, ke Puncakmu Kami Menuju
 
dok. pribadi
Danau Ranukumbolo yang selalu berselimut kabut

Di kalangan para pendaki dan penggiat alam, Gunung Semeru atau biasa disebut Mahameru merupakan nama keramat. Maklumlah, selain cerita-cerita mistis melingkupi keberadaan gunung ini, juga karena cukup banyak para pendaki yang meninggal saat mendaki.

Bahkan, dalam agama Hindu ada kepercayaan tentang gunung ini. Gunung Mahameru dianggap sebagai rumah para dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung antara bumi (manusia) dan Kayangan.

Gunung ini juga dipercaya sebagai Bapak Gunung Agung di Bali. Setiap 8-12 tahun sekali dilakukan upacara sesaji di puncak Mahameru. Ada mitos, kalau manusia ingin mendengar suara dewa mereka harus semedi di puncak Mahameru.

Di luar urusan metafisik, gunung tertinggi di Pulau Jawa (3627 dpl) ini konon juga memiliki keindahan alam yang tiada dua. Tak heran, jika grup band ternama Dewa 19 sampai khusus membuat lagu untuk melukiskan kebesaran Mahameru.

Pada Sabtu pagi (5/6), akhirnya kami (anggota milis Pangrango) sampai juga ke sana, ke atap Pulau Jawa yang berada di wilayah Kabupaten Malang dan Lumajang dengan posisi geografis terletak antara 8°06 LS dan 120°55 BT.

* * *

Perjalanan diawali dari daerah Tumpang, sebuah kecamatan di Malang yang terletak di kaki Gunung Semeru.

Pendaki dari Jakarta bisa mencapai daerah Tumpang dari terminal Arjosari-Malang dengan waktu tempuh 30 menit menggunakan angkutan kota. Untuk melengkapi kebutuhan logistik, di pasar Tumpang kami sempatkan untuk berbelanja sayuran dan sejumlah bumbu masakan.

Tujuan selanjutnya adalah Desa Ranupani yang merupakan desa terakhir di kaki gunung Semeru. Para pendaki harus menggunakan jeep untuk sampai ke tempat ini. Ongkos carter jeep sebesar 200 ribu. Untuk menghemat, kami bergabung dengan rombongan pendaki lain sehingga masing-masing orang hanya mengeluarkan uang Rp 16 ribu.

Jeep yang kami tumpangi meninggalkan Tumpang sekitar pukul 13.30 WIB. Kami berhenti sebentar di pos pendaftaran Gubuk Klakah, karena demikianlah memang aturannya. Bahwa setiap pendaki harus mendaftarkan diri, membayar beaya asuransi Rp6.000, dan menyerahkan dua fotocopy KTP sebelum mendapatkan surat jalan.

Setelah membereskan urusan administrasi perjalanan, kami lanjutkan kembali. Di atas jeep yang bergoyang kencang kami menikmati keindahan panorama alam. Sementara di sisi kanan dan kiri kami adalah jurang yang cukup dalam dengan pepohonan yang rimbun. Nun di kejauhan, tampak tebing-tebing yang tinggi menjulang.

Ketika jeep melintasi beberapa desa, terlihat buah apel yang ditanam penduduk di pekarangan rumah mulai ranum. Hmm..., kedamaian khas yang biasa terpancar dari alam pedesaan nan sejuk.

Siang itu langit tampak cerah, namun angin yang dingin serasa menggigit hingga ke tulang. Mulailah kami berpegangan erat ke sisi-sisi jeep, ketika kendaraan buatan Inggris itu melonjak-lonjak oleh jalanan berbatu. Meski terasa ngeri, masih juga sesekali terdengar gelak tawa bila ada seorang teman terjatuh ke lantai karena genggamannya pada sisi bak jeep terlepas.

Setelah tiga jam perut terasa diaduk, kami pun sampai di desa Ranupani. Selanjutnya, setiap pendaki harus menyerahkan surat jalan dari pos Gubuk Klakah.

Kami mulai packing ulang barang bawaan dengan segera, karena rombongan dilarang mendaki selepas jam lima sore. Sebab, setelah lepas jam lima, kabut mulai turun dan akan mudah membuat pendaki tersesat.

Sebelum memulai pendakian kami berdoa sejenak. Tepat pukul lima, kami memulai perjalanan. Sepuluh menit berjalan, kami sudah sampai di batas ladang dan hutan.

Jalur selanjutnya mulai menanjak, cukup sebagai pemanasan sebelum kami sampai di gigir gunung yang kian curam. Selepas tanjakan, jalur mulai landai, cuaca yang mulai gelap membuat kami tidak dapat berjalan cepat, apalagi kami berjalan menyisir bukit dengan jurang yang dalam di sisi kanan. Ilalang liar menutupi jalur sampai setinggi dada, terkadang kami harus menunduk melewati pohon-pohon yang melintang, kami menyebutnya sebagai ’portal’.

Kabut yang turun malam itu cukup tebal, sehingga menurunkan uap air seperti gerimis. Kami sempat berhenti sebentar untuk menggunakan jas hujan. Beban berat di pundak dan cuaca dingin sempat menurunkan semangat kami. Terlebih, karena Danau Ranukumbolo yang menjadi tujuan berikut belum juga terlihat. Namun kami terus membulatkan tekad, bergantian kami menguatkan semangat anggota tim yang berjumlah lima orang perempuan dan satu laki-laki tersebut.

Setelah Danau Ranukumbolo, lalu Tanjakan Cinta


dok. pribadi
Tanjakan Cinta yang menguras fisik

Setelah lima jam berjalan, akhirnya kami sampai di Danau Ranukumbolo. Cuaca dingin membekukan tulang. Dengan cepat kami mendirikan dua buah tenda sebelum akhirnya kami mesti buru-buru giliran mengganti pakaian kami yang kuyup oleh kabut dengan pakaian kering. Jika ini tak dilakukan, jelas kami akan mengalami hypotermia (kedinginan).
Perut telah terisi, dan tiap anggota rombongan telah melapisi diri dengan penghangat badan, seperti jaket, sarung tangan, kaus kaki, kami pun segera meringkuk di dalam kantung tidur dan terlelap.

Ketika terbangun pada pukul delapan pagi, kami langsung keluar tenda. Kami berharap akan menemukan pesona Ranukumbolo di bawah sana dengan airnya yang berkilat-kilat di sepuh matahari pagi.

Namun...ah, Ranukumbolo ternyata masih berselimut kabut. Matahari nampak malu-malu dan memilih bersembunyi di balik awan. Sedikit gemetaran kami mencoba meluruskan kaki dan berjalan-jalan di sekitar danau.

Ranu Kumbolo yang membentang seluas 12 hektar, dikelilingi perbukitan yang hijau oleh rerumputan serta hutan cemara. Danau ini juga memiliki banyak ikan. Karenanya, banyak pendaki yang meluangkan waktu berlama-lama di danau ini sambil memancing.

Pada musim kemarau seperti Juli-Agustus-September cuaca di sekitar danau bisa mencapai minus lima derajat. Embun pagi akan berubah menjadi bunga-bunga es. Ah.. keindahan yang mematikan tentunya bagi mereka yang tak tahan dengan udara dingin.

Cuaca semakin hangat seiring menipisnya kabut di atas danau. Selesai makan dengan menu sup dari bahan sayuran serta bumbu yang kami beli di pasar Tumpang, perjalanan pun kami lanjutkan.

Langkah terasa berat karena kami harus melewati tanjakan yang cukup panjang dan tinggi. Percaya atau tidak, nama tanjakan ini adalah Tanjakan Cinta. Entahlah siapa yang awalnya memberi nama. Konon, bila kita mendakinya tanpa berhenti dan menoleh ke belakang, segala keinginan kita soal percintaan akan tercapai. Tetapi ini tidak mudah. Cuma mereka yang memiliki fisik super-prima sajalah yang sanggup melakukan pekerjaan itu dengan sempurna: berjalan tegak mendaki bukit tanpa menoleh ke belakang.

Sesampainya di puncak bukit, segera terlihat pepohonan yang rimbun. Tempat ini cocok untuk melepas lelah setelah melewati tanjakan cinta. Pemandangan terhampar indah dengan Ranukumbolo yang selalu dipayungi kabut. Di arah depan, savana luas dengan perbukitan gundul di sekililingnya. Itulah Savana Oro-oro Ombo.

Titik selanjutnya yang ingin kami capai adalah Kalimati. Jalur setelah Oro-oro Ombo cukup bervariasi. Terkadang landai melewati tanah berdebu, lalu menanjak, sebelum akhirnya memasuki hutan cemara yang berpohon tinggi namun berdaun jarang sehingga panas matahari tetap mengenai kulit.

Menjelang Kalimati kami sampai di Blok Jambangan. Dari sini puncak Mahameru terlihat jelas dengan jalurnya yang berpasir. Kami melepas penat di tempat ini sambil menunggu letusan wedhus gembel. Di Jambangan ini banyak terdapat tumbuhan eidelweis karena sudah berada pada ketinggian 3200 dpl.

Kami membuka tenda di lembah Kalimati dengan pertimbangan lebih dekat ke mata air selain itu di Arcopodo banyak pendaki yang sudah tiba terlebih dahulu sehingga kami khawatir tidak ada tempat kosong untuk tenda kami. Jika beruntung di Kalimati ini kita bisa melihat binatang liar seperti macan.

Mahameru, ke puncakmu kami menuju

dok. pribadi
Di puncak Mahameru dengan latar belakang wedhus gembel

Kami agak terlambat menuju puncak, karena baru berangkat pukul dua pagi. Idealnya untuk pendaki yang berangkat dari Kalimati adalah sekitar pukul 12 malam. Setelah membawa perbekalan secukupnya seperti air minum dan makanan kecil, kami berjalan menuju Arcopodo. Untunglah saat itu bulan terang bersinar sehingga kami cukup terbantu melihat jalur yang curam dan rawan longsor tersebut.

Arcopodo berada pada ketinggian 2.900 dpl, merupakan batas vegetasi. Sehabis ini tidak ada lagi tumbuhan yang hidup. Yang ada hanya pasir dan bebatuan saja, kecuali satu pohon cemara yang disebut Cemoro Tunggal. Dinamakan Arcopodo karena dulu ada dua buah arca, Ganesha dan Dewa Wisnu. Namun sayang, arca-arca itu kini telah hilang.

Selepas Arcopodo, kami sampai di batas hutan yang bernama daerah Kelik. Di daerah ini banyak terdapat batu peringatan korban yang meninggal di Mahameru. Kami memandang ke arah atas, tampak lampu-lampu senter beriringan milik para pendaki yang telah berangkat lebih awal.

Dalam dinginnya udara, kami melanjutkan pendakian mendaki lereng Semeru yang berpasir dengan kemiringan 50-60 derajat. Pendakian menuju puncak benar-benar menguras fisik dan mental kami. Oleh karena itu kami harus pintar-pintar memilih pijakan kaki jika tidak ingin terperosok ke dalam jurang. Tenaga kami kerahkan ketika berjalan di pasir karena setiap tiga langkah pasti mundur selangkah. Hanya mereka yang bermental kuat yang dapat menaklukkan Puncak Mahameru.

Pukul delapan pagi, kami tiba di Puncak Mahameru. Rasa haru menyelimuti, sujud syukur kami lakukan kepada Tuhan Sang Pencipta atas keindahan yang terdapat di sekeliling kami. Di antara gumpalan-gumpalan awan tampak puncak-puncak gunung di sekitar Mahameru. Di timur terlihat pegunungan Argopuro dan Gunung Raung. Di arah barat berdiri angkuh puncak Gunung Arjuna, Welirang, Anjasmoro dan Gunung Kawi.
Bagian Selatan, Gunung Bromo dengan pesona kawahnya yang selalu mengeluarkan cahaya putih. Lebih ke Selatan, terlihat deburan ombak Laut Selatan. Bagian Utara, bentangan samudera terlihat lebih dekat lagi, buih putih ombaknya begitu jelas dari tempat kami berdiri.

Suara letupan tiba-tiba terdengar diiringi gumpalan asap pekat bercampur debu yang di kalangan pendaki disebut wedhus gembel. Peristiwa ini memang yang paling kami tunggu. Cepat kami keluarkan kamera untuk mengabadikannya. Kami begitu menikmati suasana di puncak, melihat keindahan Pulau Jawa. Namun keinginan untuk berlama-lama harus pupus karena di atas pukul 10 pagi, letusan mahameru akan disertai gas beracun yang dapat membuat pendaki mati lemas.

Jalur turun sampai Kelik kami tempuh kurang dari satu jam. Suatu keasyikan tersendiri melewati pasir sambil berlari-lari kecil seperti sedang main ski. Kami berlomba untuk lebih dulu sampai di bawah.

Sampai di Kalimati kami langsung makan dan packing karena kami ingin meneruskan perjalanan langsung ke Ranupani mengingat waktu cuti yang terbatas. Perasaan puas dan bahagia karena telah mencapai atap Pulau Jawa membuat semangat kami timbul kembali, sehingga perjalanan pulang terasa lebih ringan.

Tim sempat melepas lelah cukup lama di Oro-oro Ombo. Sore itu suasana savana memang cantik dengan sinar matahari yang berpendar dari balik bukit, rasa penat sekejap hilang menyaksikan rumput-rumput liar dan bunga-bunga ungu bergoyang seirama angin senja.

Puas beristirahat kami melanjutkan perjalanan melewati Ranukumbolo yang sore itu ramai dengan tenda-tenda para pendaki yang memilih menginap semalam lagi ditempat itu. Mengingat cuaca makin gelap kami percepat langkah kami.

Sekitar pukul 12 malam rombongan sampai di Ranupani dan langsung memesan kamar untuk beristirahat. Pagi sebelum pulang kami menyempatkan diri menikmati keindahan danau Ranupani yang terletak tepat di depan guesthouse. Siang itu kami kembali berada di atas jeep yang mengantar kami sampai ke Tumpang, untuk selanjutnya meneruskan pulang ke Jakarta.

Meski tinggal bayang-bayang, kenangan atas Mahameru tetap menjadi kenangan yang tiada pernah akan terlupa, sepanjang hayat!







KENANGAN KEPADA SEORANG DEMONSTRAN
SOE HOK GIE



Enam belas Desember 30 tahun lalu, Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak G. Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis. Sosok dan sikapnya sebagai pemikir, penulis, juga aktivis yang berani, coba ditampilkan Rudy Badil, yang mewakili rekan lainnya, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman (Maman), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.



"Siap-siap kalau mau ikut naik lagi ke Gunung Semeru. Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di musim penghujan Desember, juga pertengahan Desember itu bulan puasa Ramadhan," kata Herman O. Lantang, mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang masih amat bugar di umurnya yang sudah lewat 57 tahun.

Terkejut dan tersentuh juga saya saat mendengar ajakan Herman itu. Dia merencanakan membentuk tim kecil untuk mendaki puncak Semeru lagi Desember ini, sambil memperingati 30 tahun meninggalnya dua sobat lama kami, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. "Kita juga akan berdoa, sekalian mengenang Freddy Lasut yang meninggal beberapa bulan lalu," lanjutnya.

Soe meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurang sehari. Idhan malah baru 20 tahun. "Tanpa terasa Soe sudah tiga dasawarsa meninggalkan kita sejak Orde Baru ... perkembangan yang terjadi di Tanah Air dalam dua tahun terakhir ini, khususnya gerakan mahasiswa yang telah menggulingkan pemerintahan Orde Baru, mengingatkan kita kembali pada situasi tahun 1960-an, ketika Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu," begitu bunyi naskah buku kecil acara "Mengenang Seorang Demonstran", (berisikan antara lain diskusi panel soal bangsa dan negara Indonesia ini), yang bakal diselenggarakan Iluni FSUI dan Alumni Mapala UI.


Kasih batu dan cemara

Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), di benak saya mulai tergali suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru.

Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, bersama Maman saya terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Kami menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.

Di depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.

Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, "Simpan dan berikan kepada kepada 'kawan-kawan' batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI." Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).

Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu datangnya Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.

Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. "Soe dan Idhan kecelakaan!" katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.

Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Kami berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.

Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.

"Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya," begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.



Mengapa naik gunung

Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.

Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. "Pokoknya gue akan berulang tahun di atas," katanya sambil mesam-mesem. "Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali."

Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. "Keren enggak?" Tanyanya.

Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki G. Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.

Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya.

Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan "falsafahnya", kala mengajak seseorang mendaki gunung. "Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P. Jawa ini," kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.

Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.

Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.

Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan ... Tides dan Wiwik 18-12-69.

Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan "site" tempat jenazah Soe dan Idhan ... kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat ... sebanyak mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing.
Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.


Monyet tua yang dikurung

Kalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh. Beberapa kali dia mengisahkan kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda gara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku hariannya di CSD, Hok Gie menulis: "... Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ...."

Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan "Cina Kecil", memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata "sakti" filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis: "Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."

Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo), sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: "Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras ... diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil ... orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur."

Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang ... makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan ... Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian." (CSD) Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: "Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang." Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: "Ah, Mama tidak mengerti".

Arief pun menulis kenangannya lagi: ... di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik ... dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangan ... saya terbangun dari lamunan ... saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, "Gie kamu tidak sendirian". Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.


Mimpi seorang mahasiswa tua

John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.

Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus: ...Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih ... kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.

Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut: ... Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan .... Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan ... bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.

Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis, ... Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!

Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini: Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama - buruh - dan pemuda, bangkit dan berkata - stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.

Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan: ... Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan ... Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.

Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidak tahu berbahasa Inggris.

Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis: ... Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.

Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki "politisi berkartu mahasiswa". Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru.



Berpolitik cuma sementara

John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini, "Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas."

Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun ... namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental "asal bapak senang", serta "yes men", atau sudah pasrah.

Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa." Demikian tulis Maxwell.

Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.

Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folksong (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung makannya gembul.

Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru muncul di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya "Pesan" dan cukilan pentingnya berbunyi:

Hari ini aku lihat kembali

Wajah-wajah halus yang keras

Yang berbicara tentang kemerdekaaan

Dan demokrasi

Dan bercita-cita

Menggulingkan tiran



Aku mengenali mereka

yang tanpa tentara

mau berperang melawan diktator

dan yang tanpa uang

mau memberantas korupsi



Kawan-kawan

Kuberikan padamu cintaku

Dan maukah kau berjabat tangan

Selalu dalam hidup ini?

Senin, 16 Juli 2007





converse






Herzlich Willkommen auf unseren Seiten zum BLK-Modellversuch INFOKOM

Diese Seiten sind auf dem Stand vom 28.9.2000
Nach erfolgter Rücksprache mit allen beteiligten Partner entsteht hier die endgültige Version!
Es sind dann auch sämtliche Beiträge und Ergebnisse der Oberwiesenthaler Fachtagung abrufbar - inclusive der Oberwiesenthaler Erklärung und ein Statement der am MV beteiligten Lehrer zur Fachtagung!

Mengenal Radio Internet

Setelah tulisan tentang teknik Membangun Sendiri Radio Internet saya upload, ada beberapa pembaca yang menanyakan sebenarnya Radio Internet itu seperti apa. Kali ini saya akan coba sarikan tentang apa itu Radio Internet. Mungkin secara urutan waktu jadi terbalik, karena saya sudah menulis dulu tentang Membangun Sendiri Radio Internet sebelum menuliskan pengenalan Radio Internet. Tapi tidak masalah, yang penting berbagai lapisan pembaca tercerahkan dengan ini. Saya akan memulai dengan apa dan mengapa Radio Internet bisa digandrungi pendengarnya.

Seiring dengan penetrasi internet di dunia yang mulai mencapai angka 1 miliar pengguna, kebutuhan untuk mendapatkan layanan berbasis Internet juga semakin meningkat. Data menunjukkan [1] bahwa, 80% pengguna Internet mengirimkan email, 60% menggunakan instant messaging (seperti Yahoo atau MSN Messenger) dan 55% mendownload file. Kemudian 22% pengguna Internet juga mulai menikmati video lewat Internet. Setelah ATM diperkuat dengan Internet banking, toko buku diperkuat dengan toko buku online, ternyata Radio dan TV juga mengikuti jejak untuk mencoba versi Internet dengan broadcastingnya. Beberapa Radio konvensional Indonesia saya lihat sudah merely acaranya untuk bisa dinikmati lewat Internet. Hasil pencarian di tvradioworld.com menunjukkan bahwa sekitar 204 radio konvensional Indonesia memiliki versi Internet Radio (beberapa sepertinya broken link).

Radio Internet bagaimanapun juga masih dikuasai oleh 5 besar penyedia jasa portal dunia maya, yaitu: AOL Radio Network, Yahoo!Music, MSN Radio, WindowsMedia.Com maupun Live365.Com. Selain itu muncul Radio Internet yang dikelola oleh individu maupun kelompok, baik untuk tujuan hobi, iseng, dakwah, komunikasi dengan komunitasnya, maupun untuk tujuan membantu pembelajaran seperti yang kita create dengan Radio IlmuKomputer.Com. Mengapa Radio Internet sangat pesat perkembangannya dan digandrungi oleh pendengar dan broadcaster? Yang pasti ada beberapa sebab yang bisa kita diskusikan:
Internet Radio memungkinkan kita mencari dan memilih siaran berdasarkan karakteristik negara, bahasa yang digunakan, jenis radio, dsb dengan cepat dan sesuai dengan yang kita inginkan. Kita dapat menyimpannya dalam bookmark atau shortlist, dan tinggal meng-klik untuk memutarnya. Komputer membantu kita mengelola bookmark dan shortlist kita.
Radio konvensional memiliki keterbatasan geografis. Siaran yang disajikan hanya dapat dinikmati dalam wilayah yang kecil, baik kecamatan maupun kabupaten/kotamadya. Ini berbeda dengan radio internet yang begitu kita broadcast, seluruh dunia akan mendengarkan siaran kita, tak peduli kita ada di sebuah rumah mungil yang terletak di Ujung Aspal, Pondok Gede, maupun yang ada di pusat kota Jakarta
Investasi relatif lebih murah, baik investasi awal, operasional maupun maintenace
Kualitas suara yang tidak kalah dengan kualitas suara pada radio konvensional
Setting hardware/alat maupun software lebih mudah dan sederhana
Tidak memerlukan ijin khusus untuk membuatnya

Bagaimana kalau menurut data? Beberapa survey [1] di Amerika mengindikasikan bahwa orang mendengarkan Radio Internet karena:
Untuk mendengarkan audio yang tidak tersedia di lain tempat (17%)
Untuk mengontrol atau memilih musik yang dimainkan (15%)
Sedikit iklannya (14%)
Jenis musik yang ditawarkan sangat bervariasi (13%)
Suara atau sinyal yang diterima lebih bagus/bersih daripada radio konvensional (8%)
Tidak terlalu banyak suara dari broadcaster (8%)
Karena ini hal baru (7%)

Di Indonesia masih belum banyak yang memanfaatkan teknologi ini karena koneksi Internet kita yang tidak terlalu baik. Kalaupun kita mau gunakan, harus dipilih software streaming yang tidak menggunakan resource bandwidth yang besar, juga setting encoder kita harus buat sekecil mungkin, misalnya dengan menggunakan 16-24kbps (mono). Sebagai catatan, beberapa server radio internet memiliki ukuran yang tidak terlalu besar, misalnya Shoutcast server hanya berukuran 136kb.

Lalu bagaimana dengan Radio IlmuKomputer.Com? Radio Online IlmuKomputer.Com kita desain dan bangun dengan tujuan untuk menyiarkan:
Diskusi tentang perkembangan dunia IT, baik dari sisi konten maupun teknologi, infrastruktur, kewirausahaan, manajemen IT, hingga hardware.
Diskusi tentang materi eLearning Gratis yang ditawarkan di IlmuKomputer.Com (Kerjasama dengan Brainmatics yang mensupport ruangan studio dan koneksi internet). Sebagai salah satu features dalam eLearning Gratis IlmuKomputer.Com untuk diskusi interaktif dengan para instruktur.
Live event, laporan pandangan mata dari berbagai event (workshop, seminar, training) yang diselenggarakan oleh IlmuKomputer.Com dan Brainmatics secara off-line

Beberapa URL berhubungan dengan Internet Radio.
SHOUTcast
Radio Locator
MTV Radio
Live 365
Yahoo!Music
AOL Radio Network
MSN Radio
WindowsMedia.Com
Radio Tarbiyah
Indonesian Radio Web
IndoRadio.Net

Referensi:
Franc Kozamernik and Michael Mullane, An Introduction to Internet Radio, Ebu Technical Review, October 2005.
http://radio.about.com/library/weekly/aa013003a.htm
http://www.shoutcast.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Internet_radio